KontanKontan

Mengawali Tahun 2025, Mulai Ada Tanda-Tanda Penurunan Bunga Kredit Bank

Mengawali tahun 2025, bank tampaknya masih kesulitan untuk menurunkan bunga kredit. Namun, mulai ada perubahan kecil dari Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang ditetapkan pada awal tahun ini.

Ambil contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA yang menunjukan ada penurunan SBDK untuk beberapa segmen. Di antara, segmen kredit non UMKM untuk ritel dan kredit UMKM yang untuk segmen mikro.

Untuk kredit non UMKM untuk ritel per 31 Desember 2024, SBDK yang ditetapkan BCA berada di level 8,30% dari periode bulan sebelumnya yang ada di level 8,31%. Sementara, kredit mikro berada di level 8,22% dari bulan sebelumnya di level 8,23%.

Di sisi lain, BCA juga memiliki rata-rata SBDK yang paling rendah di antara sepuluh bank besar lainnya. Sebab, rata-rata SBDK BCA berada di level 8,27%, di saat beberapa bank lainnya memiliki rata-rata SBDK di level 9% hingga 11%.

EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengungkapkan, pihaknya memang senantiasa berupaya menjaga tingkat suku bunga kredit pada level yang dapat diterima oleh pasar.

Alhasil, secara keseluruhan, SBDK BCA menjadi salah satu yang paling kompetitif.

Ia bilang dalam menentukan kebijakan suku bunga BCA tentu mencermati perkembangan suku bunga ke depan, parameter makroekonomi lainnya, kondisi likuiditas sektor perbankan, hingga situasi pasar terkait supply dan demand yang ada.

Hanya saja, ia mengingatkan bahwa SBDK merupakan indikasi suku bunga efektif terendah untuk kredit yang mencerminkan harga pokok dana untuk kredit (cost of fund), biaya overhead (overhead cost), dan margin keuntungan yang dikeluarkan oleh Bank untuk kegiatan penyaluran kredit.

Oleh karenanya, Hera bilang SBDK belum memperhitungkan komponen estimasi premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian Bank terhadap risiko untuk masing-masing debitur atau kelompok debitur.

“Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK,” ujar Hera, Sabtu (11/1).

Sementara itu, ada juga PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) atau CIMB Niaga yang tampak telah melakukan penurunan SBDK. Adapun, penurunan SBDK tersebut terlihat di segmen KPR yang per 31 Desember 2024 ada di level 8,11%.

Sebagai perbandingan, pada periode 31 Oktober 2024, SBDK CIMB Niaga untuk segmen KPR berada di level 8,17%. Selanjutnya, di periode 31 November 2024, SBDK di segmen tersebut juga kembali turun menjadi 8,15%.

Meski terlihat ada penurunan, Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengungkapkan bahwa secara umum sejatinya belum ada penurunan untuk bunga kredit. Terlebih, saat ini CIMB Niaga juga masih merasakan tingginya biaya dana.

“Sebetulnya tidak ada penurunan dari sisi rate, namun terlihat turun di SBDK karena ketentuan cara perhitungan yang dilakukan perubahan sesuai aturan regulasi,” ujar Lani.

Ia pun memperkirakan biaya dana masih tinggi tahun ini sehingga pendapatan bunga dari margin NIM akan tetap menjadi tantangan.

Di tambah, penurunan bunga acuan sebesar 25 basis poin di September 2024 terlalu kecil untuk bisa menurunkan biaya dana apalagi menurunkan bunga kredit.

“Margin bank sudah tergerus cukup banyak sehingga bank juga berusaha untuk memanage profit untuk tidak tergerus lebih dalam,” ujar Lani.

Di sisi lain, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) atau Bank Mandiri menjadi bank dengan rata-rata SBDK yang paling tinggi di antara sepuluh bank besar lainnya mencapai 11,16%.

Di mana, SBDK untuk kredit mikro menjadi yang paling tinggi di level 12,5%.

Direktur Keuangan PT Bank Mandiri Tbk Sigit Prastowo mengingatkan bahwa SBDK Bank Mandiri cenderung mempertahankan SBDK selama dua tahun terakhir, baik pada segmen wholesale maupun ritel di tengah dinamika makroekonomi dan tantangan suku bunga acuan yang tinggi.

Ia bilang ada berbagai pertimbangan bagi bank berlogo pita emas ini untuk melakukan perubahan SBDK. Secara eksternal, pihaknya memperhatikan tingkat suku bunga acuan, kondisi makroekonomi, regulasi, dan persaingan antar bank.

Sedangkan secara internal, pihaknya menilai kondisi likuiditas, struktur biaya dana, biaya operasional, dan kualitas aset.

“Untuk menjaga profitabilitas, kami fokus pada optimalisasi portofolio mix antara segmen wholesale dan retail dengan tetap mengedepankan risk dan return yang optimal,” ujarnya.


Berita lainnya dari Kontan

Berita lainnya