Chart di atas adalah chart bulanan IHSG 2003-2022 di mana jelas tergambar bahwa IHSG secara jangka panjang mengalami uptrend.

Meskipun naik secara jangka panjang, selama rentang ini, IHSG dua kali mengalami bear market kuat/krisis yaitu di tahun 2008 (krisis Subprime Mortgage di US yang didokumentasikan dalam film “The Big Short”) dan 2020 (covid)

Bagi seorang investor, krisis merupakan kesempatan untuk membeli saham berkualitas di harga murah.

Pembelian sendiri biasanya dilakukan dengan dua cara: DCA dan Lump sum

DCA atau yang sering disebut Dollar cost averaging mengacu pada cara mencicil. Jika anda punya modal 100 juta dan setiap minggu selama krisis ekonomi diinvestasikan 10 juta, maka ini adalah DCA

Tapi jika anda memilih langsung menggunakan 100 juta itu langsung, maka ini disebut lump sum.

Mana yang lebih baik?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita bahas penelitian yang dilakukan oleh The Schwab for Financial Research.

Dalam penelitian ini, seorang investor diilustrasikan diberikan uang 2000 USD setiap tahun selama 20 tahun (1993-2012)

Uang ini kemudian diinvestasikan ke indeks S & P 500 di mana ada 5 strategi berbeda penggunaan uang tersebut
1.Cash investment. Uang tersebut dibelikan obligasi jangka pendek bukan indeks S & P 500
2.Bad timing. Menginvestasikan uang tersebut ke indeks S & P 500 saat harga berada di puncak.
3.DCA. Uang tersebut dibagi 12 lalu di belikan indeks setiap bulannya
4.Immediate investment. Begitu uang itu didapat, segera investasikan indeks tidak peduli berapa harganya atau bagaimana chartnya
5.Perfect timing. Kumpulkan dulu uangnya, lalu jika harga sudah murah atau price action sudah pas baru beli.

Hasilnya terlampir di chart di atas di mana selama 20 tahun pemenangnya adalah strategi market timing yang kemudian disusul oleh lump sum dan DCA.
1.cuplikan

Jadi secara jangka panjang lump sum lebih baik daripada DCA.

Jadi berkaca dari penelitian di atas lumpsum lebih baik seharusnya dibandingkan DCA. Tapi penelitian itu hanya menggunakan variabel statistik dan melupakan fakta bahwa sangat susah berinvestasi jangka panjang (20 tahun) seperti di atas.
Di Amerika saja rata-rata holding period sebuah saham dikatakan menurun di mana sekarang rata-rata holding period para investor di Amerika hanya 5.5 bulan. Tidak tahu di Indonesia.
cuplikan

Selain jangka waktu yang panjang, faktor psikologi juga dikesampingkan. Jika misalnya anda memilih strategi lump sum, besar kemungkinan anda akan mengalami penyesalan di kemudian hari saat harga saham anda turun namun anda tidak memiliki uang untuk membeli saham lagi.

Bayangkan jika anda membeli saham dengan metode lump sum tahun lalu, kemudian harga saham terdiskon habis habisan karena pandemi corona dan anda tidak memiliki uang untuk membeli saham lagi? Bagaimana perasaan anda?
Mungkin ada dari mereka yang bisa cuek saja dan berkata bahwa nanti juga balik lagi, tapi untuk sampai ke level cuek seperti ini sangat susah dan membutuhkan mental yang kuat.

Jadi kesimpulannya, meskipun secara statistik lump sum lebih baik dari DCA, saya akan memilih DCA karena DCA menghindari kita dari penyesalan jika misal nanti harga turun namun kita tidak memiliki uang lagi.

Tapi ini semua kembali ke profil investor itu sendiri. Jika anda adalah orang yang bisa membeli dan melupakan uang anda dalam waktu lama dan tidak ingin dipusingkan dengan drama pasar, Krisis ekonomi, kenaikan suku bunga, atau perang, maka lump sum adalah strategi yg tepat untuk anda.

Namun jika anda adalah orang yang cukup sering memperhatikan pasar dan takut menyesal, maka DCA adalah strategi yg tepat untuk anda.

Semoga membantu
Beyond Technical Analysis

Juga di:

Publikasi terkait

Pernyataan Penyangkalan