KontanKontan

Prospek Emiten Sektor CPO Indonesia yang Diadang Fenomena El Nino

Fenomena El Nino dengan peluang 60% diprediksi melanda Indonesia pada Mei-Juli 2023, dan 80% pada September 2023. Kemunculan El Nino setelah tiga tahun fase La Nina bakal menyebabkan lonjakan suhu global dan bisa meningkatkan risiko kekeringan serta kebakaran lahan di Indonesia.

Salah satu sektor yang terdampak fenomena ini adalah perkebunan kelapa sawit alias crude palm oil (CPO). Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan menilai, dampak terbesar dari El Nino akan berimbas pada produktivitas hasil sawit. Sebab, kekeringan yang berkepanjangan akibat El Nino dapat menghambat kegiatan pemanenan, mengingat adanya risiko kebakaran hutan dan kabut asap.

Selain itu, cuaca kering akan mengurangi proses pembuangan dan menyebabkan pembentukan tandan yang lebih sedikit karena kelapa sawit merupakan tanaman yang peka terhadap kelembapan. Menurut Hasan, efek El Nino akan terlihat pada jumlah produksi sawit di 12 bulan berikutnya.

Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa selama tiga periode El Nino dengan berbagai tingkat keparahan, harga CPO naik dengan rata-rata 5,5% selama El Nino dan naik 16% selama 12 bulan berikutnya.

“Kami berekspektasi tren serupa akan terjadi tahun ini, dengan kenaikan utama harga CPO kemungkinan besar terlihat di paruh kedua 2024,” kata Hasan.

Baca Juga: Ini Titah Mendagri Terkait Fenomena El Nino yang Bikin Warga Malaysia Panik Beli

Sementara untuk tahun 2023, Hasan meyakini permintaan masih akan loyo karena adanya penurunan ekspor, sementara harga minyak nabati lainnya telah mengalami koreksi.

Dalam riset tertanggal 23 Mei 2023, analis UOB Kay Hian Sekuritas Leow Huey Chuen dan Jacquelyn Yow menilai, terlepas dari tingkat keparahan El Nino pada tahun ini, cuaca kering yang melanda negara-negara penghasil minyak sawit menjadi faktor yang mempengaruhi produksi sawit.

Sebelumnya, produksi CPO mengalami gangguan terus menerus yang disebabkan oleh terjadinya La Nina (curah hujan tinggi) selama tiga tahun ke belakang, banjir di beberapa perkebunan sawit, dan kurangnya pemupukan selama 3 tahun sampai 4 tahun terakhir. Kondisi ini telah memengaruhi hasil tandan buah segar (TBS) dan akan terus berlanjut hingga paruh pertama 2024.

Namun, ada sedikit hikmah di balik fenomena kekeringan ini. Menurut UOB Kay Hian, harga saham perusahaan perkebunan dapat mengalami outperform karena tiga faktor.

Pertama, laba pada semester kedua 2023 berpotensi lebih baik dengan ekspansi marjin yang timbul dari kenaikan harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) CPO yang lebih tinggi dan biaya produksi yang lebih rendah.

Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Emiten CPO di Tengah Penurunan Harga CPO

Kedua, biaya pemupukan menurun 40%-50% dari akhir Desember 2022 seiring tren penurunan biaya pupuk dan bahan bakar. Ini akan bertranslasi pada marjin yang lebih baik di semester kedua 2023.

Ketiga, harga CPO berpotensi pulih dari level terendah saat ini menuju tren yang lebih tinggi seiring pasokan minyak sawit yang lebih rendah dari ekspektasi pasar di semester kedua 2023 dan pada semester pertama 2024.

Leow dan Jacquelin masih mempertahankan asumsi harga CPO untuk tahun 2023 dan 2024 pada level RM 4.000 per ton, tetapi harga CPO diperkirakan bisa naik ke depan. Berdasarkan uji sensitivitas, salah satu emiten yang berpotensi mengalami kenaikan laba tertinggi adalah PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).

UOB Kay Hian Sekuritas merekomendasikan hold saham AALI dengan target harga Rp 7.910, buy saham PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dengan target harga Rp 895, dan sell saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 900.