SeputarforexSeputarforex

Pound Sterling Kolaps Akibat Program Baru Pemerintah Inggris

Seputarforex - Pound sterling menderita aksi jual besar-besaran dalam perdagangan hari Jumat lalu dan Senin ini (26/September). Pemicunya adalah pengumuman rencana program ekonomi baru pemerintah Inggris yang justru memicu keraguan pelaku pasar, padahal www.seputarforex.net/feed/go.php.

Saat berita ditulis pada awal sesi Eropa, GBP/USD berkubang pada kisaran 1.0680-an seusai mencetak rekor terendah historis baru pada 1.0359. GBP/JPY juga terpantau amblas hingga menyentuh rekor terendah sejak pertengahan 2021, sementara EUR/GBP meroket sampai rekor tertinggi sejak 2020.

Grafik GBP/USD Daily via TradingView

Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng pada hari Jumat mengumumkan serangkaian program dalam paket ekonomi baru berjuluk "Rencana Pertumbuhan 2022". Rencana tersebut melingkupi pembatasan tagihan energi serta pemangkasan pajak besar-besaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Inggris.

Pemangkasan pajak ala Kwarteng mencakup pemangkasan tarif dasar Pajak Pendapatan mulai April 2023, pemangkasan Bea Meterai Pajak Tanah, moratorium cukai miras, pembebasan pajak hingga 100% untuk investasi pabrik dan mesin, pembatalan kenaikan Pajak Korporasi, dan masih banyak lagi. Ini merupakan pemangkasan pajak terbesar sejak 1972, dan bahkan berskala lebih masif daripada program serupa yang pernah dilaksanakan Menkeu Nigel Lawson pada era PM Margaret Thatcher (1980-an).

Kwarteng menambahkan pula dalam sebuah wawancara pada hari Minggu bahwa ia ingin terus memangkas pajak demi menggenjot pertumbuhan ekonomi Inggris. Namun, pelaku pasar meragukan keberlanjutan kebijakan-kebijakan ini.

Biaya yang dibutuhkan untuk membatasi tagihan energi saja akan mencapai miliaran pounds. Apalagi, pemerintah Inggris tentu akan kehilangan pemasukan pajak dalam jumlah yang jauh lebih besar setelah program pemangkasan pajak-nya diberlakukan kelak. Hal ini mengakibatkan pasar khawatir defisit anggaran pemerintah Inggris bakal membengkak.

UK Office for Budget Responsibility sebelumnya memperkirakan defisit anggaran sebesar 3.9% dari GDP Inggris pada tahun fiskal 2022/2023, kemudian turun sampai 1.9% pada 2023/2024. Seusai pengumuman Kwarteng, NIESR memprediksi defisit dalam tahun ini saja bakal membengkak sampai 8% dari GDP.

Ada pula efek samping lain yang mengguncang keyakinan pasar. Rencana kebijakan Kwarteng memang dapat menghalau ancaman resesi, tetapi juga berpotensi meningkatkan inflasi dalam jangka waktu lebih lama. Konsekuensinya, bank sentral Inggris (BoE) akan terdesak untuk menaikkan suku bunga secara lebih agresif -- dan semakin meningkatkan beban hidup masyarakat.

Pasar uang saat ini memperhitungkan peluang 50 persen untuk kenaikan suku bunga Bank of England sebesar 100 basis poin atau lebih pada bulan November. Probabilitas untuk skenario itu sebelumnya nihil, karena pasar meyakini BoE hanya akan menaikkan suku bunga lagi sebesar 25 atau 50 basis poin. Ironisnya, ekspektasi suku bunga BoE yang makin hawkish tidak diiringi dengan bias bullish bagi pound sterling lantaran adanya ancaman defisit jumbo.


"Dengan pengeluaran tanpa pendanaan secara luas di sisi fiskal yang tak tertandingi oleh kebijakan moneter untuk mengimbangi dorongan inflasi, mata uang kemungkinan akan melemah lebih lanjut," kata analis dari Goldman Sachs dalam sebuah catatan untuk klien, "Kami merevisi prakiraan GBP menjadi lebih lemah terhadap EUR sampai 0.92, 0.90, 0.88 dalam kurun waktu 3, 6, dan 12 bulan (prakiraan sebelumnya 0.85, 0.83, 0.84). Kami juga menurunkan prakiraan GBP/USD untuk 3, 6, dan 12 bulan ke depan menjadi 1.05, 1.08, dan 1.19."


"Aksi jual pound bukan hanya perdagangan favorit pasar terkait stagflasi, tetapi pound juga menghadapi krisis kepercayaan," kata Christopher Wong, pakar strategi mata uang dari Oversea-Chinese Banking Corp Singapura, "Kami tetap berhati-hati terhadap potensi penurunan prospek atau peringkat utang pemerintah Inggris."


Aksi jual atas pound sterling tadi pagi turut menyeret nilai tukar mata uang negeri jirannya, euro, bersama dengan mata uang lain yang peka risiko seperti dolar Australia dan dolar New Zealand. Di sisi lain, dolar AS justru menguat pesat berkat statusnya sebagai mata uang safe haven. Pelemahan Sterling sudah mulai termoderasi saat pasar memasuki sesi Eropa, kemungkinan karena masuknya likuiditas dari para pelaku pasar di London.