KontanKontan

Rupiah Kembali Melemah ke Atas Rp 15.000 Per Dolar AS, Bagaimana Prediksi ke Depan?

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah. Data Bloomberg menunjukkan, rupiah melemah 0,62% ke level Rp 15.148 per dolar AS pada Selasa (7/2).

Sejak akhir pekan lalu, rupiah sudah melemah 1,75% dari posisi Rp 14.888 per dolar AS pada penutupan Kamis (2/2). Padahal, rupiah bertahan di bawah level Rp 15.000 per dolar AS sejak pertengahan Januari 2023.

Analis DCFX Futures Lukman Leong mengatakan, pelemahan rupiah terjadi setelah rilis data tenaga kerja AS pada Jumat (3/2) waktu setempat kembali menunjukkan hasil positif. Penambahan tenaga kerja sektor non-pertanian alias non-farm payroll (NFP) AS pada Januari 2023 tercatat melonjak menjadi 517.000, jauh lebih tinggi dari pencapaian bulan Desember 2022 yang sebanyak 260.000.

Realisasi ini juga melampaui konsensus pasar yang memprediksi NFP AS Januari 2023 turun menjadi 185.000. Tingkat pengangguran AS pada Januari 2023 juga dilaporkan turun menjadi 3,4%, dari 3,5% pada Desember 2022.

Kuatnya NFP AS dapat mendorong masyarakat untuk terus berbelanja yang selanjutnya dapat kembali meningkatkan level inflasi AS yang sudah mulai mereda. Hal ini memicu kekhawatiran pasar bahwa bank sentral AS The Fed akan menaikkan suku bunga lebih tinggi dan mempertahankannya lebih lama demi menekan inflasi.

"Kondisi ini akan sangat tidak ideal apabila direspons Bank Indonesia (BI) dengan tindakan yang sama, apalagi BI terlihat sudah nyaman dan tidak akan menaikkan suku bunga lagi karena tren inflasi Indonesia sudah menurun," kata Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (7/2).

Sentimen ini menguatkan nilai tukar dolar AS dan menekan rupiah meski fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Data terbaru menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 sebesar 5,31% year on year (yoy), lebih tinggi dari pencapaian 2021 yang sebesar 3,70% yoy.

Kemudian, cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 137,2 miliar pada akhir Desember 2022, meningkat dari posisi di pengujung November 2022 yang sebesar US$ 134,0 miliar.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, laporan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Non-Manufaktur AS yang diterbitkan oleh Institute of Supply Management/ISM atau lebih dikenal dengan ISM Service PMI juga menjadi sentimen penguat dolar AS.

ISM Service PMI pada Januari 2023 tercatat sebesar 55,2, naik dari level sebelumnya di 49,2 dan lebih tinggi dari perkiraan 50,4.

Kondisi ini menjadi sinyal bahwa The Fed masih perlu untuk terus menaikkan suku bunga acuannya.

"Lonjakan imbal hasil treasury notes tenor 10 tahun serta penurunan pasar saham pada Senin (6/2) juga telah meningkatkan permintaan likuiditas untuk dolar AS yang mendasari pelemahan rupiah," tutur Sutopo.

Lukman menilai, level ideal bagi rupiah saat ini ada di bawah Rp 15.000 per dolar AS. Meskipun begitu, menurutnya, volatilitas yang terjadi akhir-akhir ini masih tergolong wajar dan hanya akan berlangsung sementara.

Untuk ke depannya, Lukman melihat banyak sentimen positif yang akan menopang nilai tukar rupiah. Mulai dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan tetap kuat, tingkat inflasi yang menurun, hingga pembukaan kembali ekonomi China yang akan mendorong permintaan ekspor komoditas Indonesia.

Cadangan devisa juga diperkirakan akan terus meningkat berkat revisi PP No. 1 Tahun 2019 yang memperluas cakupan sektor bisnis yang harus menempatkan devisa hasil ekspor di dalam negeri.

"Di sisi lain, kurs dolar AS diperkirakan menguat tahun ini sebagai status mata uang safe haven di tengah potensi perlambatan ekonomi global," ungkap Lukman.

Lukman memprediksi, rupiah akan berada di kisaran Rp 14.700-Rp 15.500 per dolar AS pada kuartal I-2023. Lalu, rentang pergerakan di semester 1 2023 berada di Rp 14.500-Rp 15.500 serta akhir tahun di Rp 14.300-Rp 14.500.

Sementara itu, Sutopo memperkirakan, rupiah akan diperdagangkan pada kisaran Rp 15.400-Rp 15.600 dalam kurun waktu 12 bulan ke depan. Menurutnya, sentimen akan sangat beragam, tetapi tidak jauh dari inflasi dan kebijakan bank sentral ke depannya. Kondisi inflasi masih sangat riskan dengan kemungkinan naik lagi ke depannya.