KontanKontan

Ini Kata Pengamat Soal POJK 7/2023 Pempol Ikut Tanggung Kerugian Perusahaan Asuransi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK Nomor 7 tahun 2023 tentang tata kelola dan kelembagaan perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama (mutual insurance).

Salah satu isi baleid tersebut pemegang polis (pempol) akan ikut menanggung kerugian perusahaan. Setidaknya ada enam pasal yang mengatur soal tanggung renteng kerugian perusahaan asuransi.

Misalnya, pasal 126 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan usahanya perusahaan asuransi mengalami mengalami kerugian, maka akan dibebankan terlebih dulu ke dana cadangan perusahaan.

Jika dana cadangan tersebut tidak mencukupi, akan dibebankan kepada anggota tanpa terkecuali, meski begitu perlu adanya Rapat Umum Anggota (RUA).

Adapun POJK 7/2023 tampaknya mengacu kepada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang merupakan satu-satunya perusahaan asuransi di Indonesia berbentuk mutual insurance dan tengah mengalami kerugian.

Terkait aturan tersebut, Pengamat Asuransi sekaligus Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) Ana Mustamin mengatakan pada dasarnya esensi perusahaan mutual atau perusahaan bersama memang pemilik perusahaan itu adalah pemegang polis. Jadi, pempol punya dua fungsi, yakni sebagai pemilik perusahaan dan konsumen.

Baca Juga: Soal POJK 7/2023, Pemegang Polis: Kami Beli untuk Proteksi, Bukan Tanggung Rugi

Menurut Ana, dua hal itu enggak bisa dicampuradukan karena masing-masing punya porsinya sendiri. Dia menerangkan pada saat perusahaan itu untung, maka keuntungan harus dibagi kepada pempol dalam kapasitasnya sebagai pemilik perusahaan, kemudian kalau terjadi kerugian, tentu harus dibagi kepada pempol dalam kapasitasnya sebagai pemilik perusahaan.

"Kalau dia sebagai pemilik perusahaan, artinya hak-hak dia sebagai pempol yang menerima manfaat asuransi itu enggak bisa dikurangi, yang dikurangi adalah semacam reversionary bonus atau semacam dividen," ucap dia kepada KONTAN.CO.ID, Minggu (4/6).

Terkait cara menghitung, Ana menjelaskan kerugian akan dihitung ketika tahun akhir dan dengan mekanisme diakumulasi.

"Semisal seorang pempol masuk ke dalam perusahaan usaha bersama dengan polis berjangka waktu 10 tahun, apabila perusahaan itu untung tahun pertama 2 permil atau 2 per seribu dari uang pertanggungan dia, dari benefit klaim yang seharusnya diterima pada akhir kontrak. Lalu, tahun kedua terjadi kerugian itu 3 permil dan seterusnya. Nanti di akhir tahun ke-10 itu diakumulasi berapa jumlah kerugian dan keuntungan yang diapatkan selama 10 tahun sebagai pempol. Akumulasi itu yang kemudian dibebankan kepada pempol," kata dia.

Ana menyampaikan berdasarkan akumulasi itu semisal pempol untung 2 permil tetap harus ditambahkan ke manfaat polisnya atau ke nilai klaim. Kalau rugi 3 permil, tentu bisa dikurangi dari situ.

Menurut dia, bukan benefitnya yang dipotong seperti sekarang, seperti kebijakan pengurangan nilai manfaat (PNM). Dia pun tak menyetujui adanya kebijakan itu.

Terkait pembagian kerugian, Ana berpendapat harus dilihat juga kerugian seperti apa yang akan dibebankan kepada pempol. Dia beranggapan tidak semua kerugian itu ujungnya dilimpahkan kepada pempol. Sebab, kerugian yang terjadi dalam kasus Bumiputera sekarang itu tidak semuanya kesalahan dari pemilik perusahaan, tetapi ada kesalahan manajemen hingga dari sisi regulator.

Baca Juga: Aturan Baru OJK, Pemegang Polis Turut Menanggung Bila Asuransi Usaha Bersama Rugi

Ana menyebut pengelola statuter selama 2 tahun di AJB seharusnya diaudit dan dicari tahu soal kerugian perusahaan. Sebab, ada pertanggungjawaban kepada publik mengingat perusahaan tersebut dimiliki bersama.

"Kalau kemarin ada kasus investasi, pengelola statuter entah melakukan hal apa sehingga membuat perusahaan tersebut menjadi babak belur tentu tidak adil ketika kerugian itu kemudian dibebankan kepada pempol. Jadi, seharusnya sebelum kerugian itu dibebankan, perlu adanya audit terlebih dahulu mencari penyebabnya," ungkapnya.

Ana pun beranggapan kerugian tersebut tak sepenuhnya disebabkan pihak internal perusahaan, melainkan ada juga dari peran dari regulator. Menurutnya, regulator yang baru menerbitkan beleid tentang aturan pembagian keuntungan kerugian itu sangat telat.

Padahal AJB sudah berusia 1 abad lebih sehingga kalau ada hal di dalam tak bisa sepenuhnya disalahkan kepada perusahaan. Sebab, selama ini memang tak ada aturan yang diterbitkan regulator.

Dia mengatakan jika kerugian tersebut disebabkan faktor eksternal, seperti adanya krisis moneter negara ketika 1997-1999, kerugian bisa dibebankan kepada pempol.

"Kalau kerugian karena salah satrategi atau mengambil langkah, seperti yang dilakukan pengelola statuter, ya, enggak adil dibebankan kepada pempol. Kalau setiap kerugian jadi beban pempol tanpa ada pertanggungjawaban, ke depannya siapa yang mau jadi nasabah di perusahan mutual? Saya kira semua orang akan keberatan," kata dia.

Menurut Ana, dalam 5-10 tahun terakhir, AJB tak pernah ada pertanggungjawaban secara terbuka soal permasalahan yang terjadi.

Dia pun merasa heran tiba-tiba saja OJK menyetujui bahwa manajemen AJB melakukan pengurangan nilai manfaat tanpa mengkaji lebih dahulu berapa beban kerugian atau tindakan apa yang dilakukan sehingga kerugian itu muncul.