BeincryptoBeincrypto

Langgar Aturan Perlindungan Data, Meta Didenda Lebih dari Rp4 Triliun

Meta Platforms, Inc., induk usaha Facebook, harus kembali menelan pil pahit. Setelah sebelumnya perusahaan mengumumkan perampingan jumlah karyawan secara besar-besaran akibat imbas dari investasi di ruang digital yang sangat agresif, kali ini Meta harus menghadapi kasus yang berhubungan dengan pelanggaran data.

Perusahaan yang dipimpin oleh Mark Zuckerberg itu dituduh melanggar aturan perlindungan data pribadi di Eropa dan harus membayar denda sebesar 265 juta euro atau sekitar Rp4,48 triliun.

Hal itu dikonfirmasi oleh Data Protection Commission (DPC) Irlandia. Regulator yang berada di wilayah Uni Eropa itu mengatakan pemberian denda administratif disandarkan pada hasil penyelidikan DPC yang sudah dilakukan sejak 14 April tahun lalu.

Meta Platforms Ireland Limited (MPIL) yang menjadi subjek dalam penyelidikan DPC. Dalam pernyataannya, disebutkan bahwa MPIL terbukti melanggar Pasal 25 (1) dan 25 (2) dalam aturan General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku di Uni Eropa.

“DPC melakukan penyelidikan di Facebook Search, Facebook Messenger Contact Importer dan Instagram Contact Importer sehubungan dengan pemrosesan data yang dilakukan oleh MPIL selama periode 25 Mei 2018 sampai September 2019,” jelasnya dalam keterangan resmi (28/11).

Mundur sedikit ke belakang, pada April 2021 lalu, Meta disebut mengalami kebocoran data pengguna Facebook. Sebanyak 533 juta pengguna salah satu media sosial terpopuler di dunia itu bocor dan diunggah pada sebuah forum peretasan.

Data yang tercantum di dalamnya termasuk nomor telepon, nama lengkap, lokasi, alamat email, dan beberapa kredensial pengguna lainnya. Menyikapi hal itu, Meta berdalih bahwa pelaku kejahatan mendapatkan data tersebut bukan melalui peretasan, melainkan lewat cara menghapusnya dari platform sebelum September 2019.

“Perusahaan yakin bahwa data yang dipermasalahkan diambil dari profil Facebook menggunakan tools yang bisa melakukan impor kontak sebelum September 2019. Fitur tersebut memang dirancang untuk membantu pengguna untuk menemukan teman lewat daftar kontak yang dimiliki,” ungkap Meta.

Selain denda, MPIL juga diharuskan menyelesaikan permasalahan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu.

  • Baca juga: Kerugian Bisnis Metaverse Milik Meta Tambah Bengkak Jadi Rp146,31 Triliun

Bukan Kali Pertama Meta Didenda

Sanksi yang dijatuhkan kepada Meta bukanlah yang pertama. Sebelumnya, salah satu entitas usaha Meta lainnya, yakni WhatsApp, juga sempat mendapatkan penalti sebesar 225juta euro; lantaran dianggap melanggar aturan transparansi.

WhatsApp dituduh tidak memberikan informasi yang jelas kepada pengguna terkait pemrosesan data yang dilakukannya. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip utama GDPR yang menyebutkan bahwa entitas usaha harus memilki kejelasan, keterbukaan dan jujur kepada pengguna terkait bagaimana informasi pengguna akan digunakan.

Kemudian, entitas usaha Meta lainnya, Instagram, juga mendapatkan denda 405 juta euro atas pelanggaran privasi anak dan US$18,6 juta denda atas pelanggaran data Facebook History.

Denda yang harus dibayarkan oleh Meta merupakan imbas dari pelanggaran terhadap aturan GDPR. Jika ditotal, sejak tahun lalu sampai saat ini, artinya nilai denda yang dibayarkan oleh Meta mencapai 913,6 juta euro.

  • Baca juga: Dunia Metaverse Horizon Worlds Besutan Meta Platforms Gagal Penuhi Ekspektasi

500 Juta Database WhatsApp Diduga Bocor

Selain Facebook, WhatsApp juga baru saja menghadapi tuduhan yang menyebutkan bahwa 500 juta data pengguna WhatsApp bocor. Sebanyak 3 juta dari antaranya merupakan data yang berasal dari Hong Kong dan siap untuk dijual.

Namun, juru bicara Meta mengatakan laporan tersebut bersifat spekulatif. Terlebih lagi, perusahaan tidak menemukan bukti kebocoran data pada sistem WhatsApp.

“Perusahaan menanggapi dengan sangat serius dan akan melakukan penyelidikan mendalam terkait laporan tersebut,” jelasnya.

Media sosial selama ini kerap dijadikan wadah bagi peretas untuk menyusup masuk dan menggasak aset kripto yang dimiliki. Federal Trade Commission (FTC) menyebutkan bahwa platform media sosial populer justru kerap digunakan untuk menampilkan iklan palsu ataupun investasi kripto palsu. Laporan terbanyak berasal dari Instagram (32%), kemudian Facebook (26%), Whatsapp (9%), dan Telegram (7%).

“Penipuan kripto yang dimulai di media sosial sebagian besar adalah penipuan investasi. Sejak 2021 hingga Maret 2022, kerugian akibat penipuan investasi mencapai US$575 juta,” pungkas FTC.

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!