Kripto Masuk dalam RUU P2SK, Bos Indodax Harap Biaya Transaksi Tidak Menjadi Mahal
Rancangan Undang Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Jika tidak ada aral melintang, kerangka aturan tersebut akan segera di bahas pada tahun 2023 mendatang. Hal itu rupanya membawa angin segar pada industri kripto. Pasalnya, masa depan pengawasan aset kripto masuk dalam bahasan RUU P2SK.
Menyikapi hal itu, Chief Executive Officer (CEO) Indodax, Oscar Darmawan, mengungkapkan dirinya mengapresiasi langkah pemerintah yang terus fokus untuk mengembangkan ekosistem kripto di Tanah Air. Selama berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), aturan aset kripto yang dibuat oleh regulator dinilai sudah mampu mengakomodir dan mengikuti perkembangan ekosistem kripto dan blockchain secara global.
Dalam pembahasan RUU P2SK, disebutkan bahwa pengawasan kripto akan berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Oscar menuturkan apa pun yang menjadi keputusan dalam RUU tersebut, dirinya yakin pemerintah akan memberikan regulasi yang tepat untuk sektor aset digital.
Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah perihal biaya transaksi. Dirinya berharap agar regulasi baru di bawah lembaga pengawas baru tidak akan membuat biaya transaksi kripto menjadi mahal.
“Jika biaya transaksi naik, dikhawatirkan investor akan enggan untuk bertransaksi di bursa kripto dalam negeri dan memililh untuk transaksi di bursa luar negeri. Hal itu malah akan membahayakan perlindungan konsumen,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Untuk dipahami, pada RUU tersebut, aset kripto masuk dalam Inovasi Teknologi Sistem Keuangan (ITSK). Hal itu menjadikan penyelenggara ITSK wajib melaporkan informasi ke Bank Indonesia dan OJK. Selain itu, kedua lembaga negara tersebut juga akan melakukan pengaturan dan pengawasannya terhadap aset kripto sesuai dengan kewenangannya.
- Baca juga: Menilik Serba-serbi Regulasi Cryptocurrency di Indonesia
Kripto Mampu Mendorong Ekonomi Digital Indonesia
Oscar menambahkan, kehadiran kripto selama ini mampu mendorong ekonomi digital Indonesia. Sebagai contoh, dalam penerapan pajak kripto yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022, data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa pajak kripto yang berhasil dihimpun sampai dengan Oktober mencapai Rp191,11 miliar.
Terlebih lagi, di tengah pasar yang masih sekarat seperti sekarang, investor Indonesia juga terbukti tangguh. Berdasarkan data Bappebti, sampai dengan Agustus, jumlah investor kripto sudah mencapai 16,1 juta. Jumlah tersebut memperlihatkan peningkatan 43,75% dibanding akhir tahun lalu.
“Tidak hanya ramai dari pangsa pasar, para developer dalam negeri pun turut menjadi produsen aset kripto yang membuat perusahaan optimistis hal itu akan menjadi nilai Jual Indonesia dibidang blockchain dan kripto,” tutur Oscar.
Oleh karena itulah, dirinya berharap agar keputusan terkait kewenangan pengawasan industri kripto bisa segera diputuskan. Dengan adanya kepastian regulasi, dipercaya mampu memberikan proteksi, baik untuk investor maupun stakeholder.
“Selama peraturan tersebut bertujuan mendorong ekosistem kripto semakin baik dan menunjang pertumbuhan industri dalam negeri perusahaan optimistis aturan tersebut bakal mendukung kelancaran para pelaku usaha,” imbuhnya.
- Baca juga: Senator AS Perkenalkan RUU Kripto yang Kedua; Tetapkan CFTC sebagai Regulator Industri Kripto
Tarik Menarik Pengawasan Kripto Masih Terjadi di AS
Dalam hal regulasi kripto, Indonesia nampaknya berada satu langkah di depan dari Amerika Serikat (AS). Tarik menarik kewenangan antara Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) dan Komisi Perdagangan Berjangka dan Komoditas (CFTC) untuk mengawasi kripto masih terjadi di sana.
Keduanya memang merasa perlu untuk lembaga yang mengatur perdagangan dan bisnis aset kripto di sana. CFTC menganggap bahwa aset kripto merupakan komoditas dan berada di bawah kewenangannya. Namun, di sisi lain, SEC juga mengganggap bahwa terdapat jenis kripto tertentu yang digolongkan ke dalam aset sekuritas.
Hingga saat ini, masih belum ada kejelasan perihal lembaga yang memayungi regulasi kripto di Negeri Paman Sam. Menyusul kegagalan FTX, desakan untuk menelurkan aturan aset digital pun terus terjadi.
Tetapi, sayangnya, CFTC mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk mengatur pasar spot. Ketua CFTC, Rostin Benham, menuturkan lembaganya tidak memiliki kewenangan hukum untuk memeriksa entitas lain dari FTX.
“Ini yang menjadi perhatian dan ini adalah celah yang ada. Jika CFTC tidak melakukan sesuatu, pelanggan akan terus kehilangan uang,” ucapnya.
Dirinya mengaku juga telah meminta lebih banyak otoritas agar CFTC bisa mengatur aset digital. Sementara itu, SEC juga meminta hal yang sama, karena menganggap bahwa salah satu regulator keuangan tersebut memiliki keahlian lebih mumpuni untuk mengawasi pasar.